Jumat, 30 April 2010

Teater Laut di Jailolo


Jumat, 30 April 2010 | 03:40 WIB
Kompas/Agus Susanto
ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com--Sebuah konsep baru pertunjukan teater di Indonesia bahkan dunia, hanya dapat Anda saksikan di ‘SENJA MERAH GUNUNG SAMUDRA” THEATRE ON THE SEA, FESTIVAL TELUK JAILOLO 2010, Halmahera Barat, Maluku Utara, tanggal 29 Mei 2010 pukul 15.00 waktu setempat.

Perahu nelayan berubah menjadi biota – biota laut berukuran besar. Panggung apung dibangun serupa kerajaan bawah laut.

Nelayan, Petani, Siswa SD, SMP dan SMA, Komunitas Musik, Komunitas Seni & Budaya terlibat dalam persiapan pertunjukan dan juga tampil sebagai pengisi acara. Jumlahnya mencapai lebih dari 300 orang.

Tokoh – tokoh utama tampil dengan desain kostum yang spektakuler dan ukurannya bisa tiga kali lebih besar dari ukuran tubuh pemain.

Musik bambu Tataruba, Menuru, Yanger, Tari tradisional Legu Salai , Sara Dabi-dabi, Caka Lele, Dana-dana akan memeriahkan panggung utama dalam kemasan yang menarik.

Kunjungi www.festivaltelukjailolo.com untuk informasi lebih lanjut atau dapat menghubungi Evi Widya Putri di 0812-8781161 atau Radisyah di 0813-82568888.

Untuk jadi penonton THE WORLD PREMIERE of “THEATRE ON THE SEA” Daftarkan diri Anda di ftjtrip@yahoo.com

Sembilan Orangutan Dilepasliarkan


Sumber: Kompas, 12 April 2010
Balikpapan

Sembilan orangutan (Pongo pygmaeus), empat betina dan lima jantan, dilepasliarkan secara bertahap di kamp Pondok Hanau, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, sejak pekan lalu. Pelepasliaran dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalteng bersama Orangutan Care Center Quarantine dari Orangutan Foundation International.

Tempat pelepasliaran berada di kawasan eks hak pemanfaatan hutan (HPH) PT Bina Samakta. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan, kawasan hutan itu dicadangkan untuk restorasi ekosistem hutan alam PT Rimba Raya. Di hutan seluas 89.185 hektar, telah dilepasliarkan 23 orangutan, 8 ekor jantan dan 15 ekor betina.

Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Eko Novi, yang dihubungi di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Minggu (11/4), mengatakan, sembilan primata langka dan dilindungi itu merupakan korban pembukaan hutan untuk perkebunan, permukiman, maupun kegiatan lain.

Selain hasil penyelamatan petugas BKSDA dari kawasan pembukaan lahan, ada orangutan yang diserahkan masyarakat. Di Kalimantan, saat ini sedikitnya 1.200 orangutan belum bisa dilepasliarkan akibat kesulitan mendapatkan hutan yang layak mereka tempati. Data dari BKSDA Kalteng (Kompas, 10/1), menunjukkan, lebih kurang 1.000 orangutan di Kalteng belum bisa dilepasliarkan dan masih menjalani rehabilitasi. Kawanan orangutan itu ditampung di dua pusat rehabilitasi orangutan, yakni Borneo Orangutan Survival (BOS) di Nyarumenteng, Palangkaraya, dan Orangutan Foundation International di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringan Barat.

Di Kalimantan Timur, kata Nanang Kasim dari Restorasi Habitat Orangutan Indonesia perwakilan Kaltim, kini ada 219 orangutan di Yayasan BOS Wanariset Samboja yang juga belum dapat dilepasliarkan akibat kesulitan mendapatkan hutan yang layak. Sejak tahun 2002, Wanariset Samboja tidak pernah lagi melepasliarkan orangutan.

Menurut Nanang, diperkirakan Desember 2010 akan ada pelepasliaran lima orangutan di hutan eks HPH Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, seluas 86.450 hektar, yang digunakan sebagai restorasi ekosistem hutan alam untuk habitat orangutan.

�Pelepasan lima orangutan sebagai uji coba. Jika cocok, direncanakan tiap tahun sedikitnya ada tiga kali pelepasliaran orangutan dari BOS Wanariset Samboja,� katanya.

Menurut Nanang, pelepasan orangutan di hutan tidak bisa dilakukan sekarang karena belum mendapat izin dari pemerintah. Untuk mendapatkan izin, telah dilakukan pembuatan upaya kelola lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan tahap I dan memasuki tahap II.

Badan Lingkungan Hidup Kaltim telah memberikan rekomendasi layak untuk habitat orangutan. Selanjutnya, diajukan permohonan kepada Kementerian Kehutanan untuk mendapat surat keputusan dari Menteri Kehutanan

Kamis, 22 April 2010

Ekonomi Rendah Karbon Dapat Stabilisasi Emisi Gas Rumah Kaca


Oleh: Ani Purwati
Berita Bumi, 13 April 2010
Ekonomi rendah karbon dapat membantu menstabilisasi emisi gas rumah kaca pada 450 ppm CO2e dengan suhu kurang dari 2o Celcius. Untuk mencapainya, Pemerintah Indonesia menyediakan pendanaan dalam upaya mewujudkan teknologi produksi dan gaya hidup masyarakat untuk mengurangi emisi.

�Pemerintah mendorong investor melakukan eksplorasi dan pengembangan teknologi ramah lingkungan. Di antaranya dalam menghasilkan energi terbarukan,� kata Singgih Riphat, Staf Kebijakan Fiskal dari Kementerian Keuangan di sela-sela Konferensi umat Muslim untuk Perubahan Iklim di Bogor (10/4).

Untuk meningkatkan pengembangan teknologi ramah lingkungan, Pemerintah bersedia menanggung risiko eksplorasi. Dimana risiko ini yang membuat investor mengurungkan niatnya mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang mahal ini. Sementara itu keberhasilan pengembangannya kecil.

�Pemerintah ingin menunjang proyek ini. Saat ini sedang menganalisa apa yang bisa dibantu dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan ini,� jelas Riphat.

Proyek ini tergantung dari permintaan investor dan masyarakat. Misalnya proyek panas bumi atau geothermal, Pemerintah sudah menyiapkan Permen Keuangan. Pemerintah membebaskan peralatan proyek geothermal yang masuk ke Indonesia dengan menanggung PPNnya.

Pemerintah menyediakan dana guna menanggung pajak terkait program yang menghasilkan teknologi untuk mencegah perubahan iklim. Seperti PPH panas bumi sebesar 624 milyar, PPH bahan nabati 100 milyar, dan PPN adaptasi dan mitigasi 500 milyar.

Menurut Pemerintah, di Indonesia mempunyai cadangan panas bumi yang besar di dunia. Yaitu mencapai sekitar 29,7 Gwatt. Riphat mengatakan, bila ini dimanfaatkan maka tidak ada wilayah yang gelap lagi dan emisi dari pemanfaatan energi bisa berkurang.

Menurut Amanda Katili, Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), dalam menangani perubahan iklim, diperlukan pendekatan holistik, kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga dan individu. Untuk menurunkan konsentrasi karbon yang tinggi juga memerlukan penanganan dalam pertumbuhan ekonomi dan mitigasi CO2.

Emisi Indonesia diperkirakan meningkat dari 1.72 menjadi 2.95 GtCO2e pada 2000 hingga 2020. Dengan perkiraan karbondioksida dari penggunaan energi meningkat lebih tinggi hampir 1 Gt CO2e pada 2020 dari sekitar 0.3 GtCO2e pada 2005. Sementara yang berasal dari hutan, lahan, sampah, pertanian dan energi hampir sama tingkatnya hingga 2020.

Untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 26 persen, Pemerintah telah menyusun RAN-GRK dan RAD-GRK. Sebagai negara dengan tutupan hutan mencapai 70 persen kawasan hutan dimana 37 persennya mengalami penurunan dengan berbagai tingkatan, bahkan pada 2000-2005 hutan hilang sekitar 1 juta hektar per tahun, Indonesia mempunyai peran besar dalam mencegah perubahan iklim. Dengan menjaga hutannya dari kerusakan, Indonesia akan mampu mengurangi dan menyerap gas rumah kaca. Saat ini aktifitas pengurangan emisi dari kerusakan dan penurunan hutan (REDD) secara sukarela telah berlangsung di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.

Selain dengan menjaga hutan dari kerusakan, Indonesia juga mengambil langkah pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy) dengan target mencapai 17 persen. Terdiri dari biofuels 5 persen, geothermal 5 persen, biomassa, nuklear, air, surya, angin 5 persen, dan lainnya 2 persen.

Upaya penurangan karbondioksida yang sedang berlangsung saat ini dan berpotensi tercapai pada 2015 di antaranya bangunan dan perlengkapan efisiensi energi elektrik (8 Mt), small hydro (6 Mt), pengelolaan nutrisi tanaman (3 Mt), pengelolaan tanaman padi dari banjir (20 Mt), pengelolaan tanaman padi dari nutrisi (4 Mt), penanaman hutan kembali (99 Mt).






http://pili.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=823&Itemid=193